Saturday, November 22, 2008

Manajemen Beda Pendapat

"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu memerangi pasukan (musuh), maka berteguh hatilah kamu dan sebutlah (nama) Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung. Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang keluar dari kampungnya dengan rasa angkuh dan dengan maksud riya' kepada manusia serta menghalangi (orang) dari jalan Allah. Dan (ilmu) Allah meliputi apa yang mereka kerjakan." (QS. al-Anfal: 45-47)Tiga ayat surah al-Anfal di atas menawarkan resep kemenangan menghadapi musuh. Resep pada tiga ayat tersebut secara berurut: teguh di hadapan musuh, menjalin hubungan dengan Allah dengan banyak berzikir, taat pada Allah dan Rasul-Nya shallallahu ’alaihi wasallam, tidak berbantah-bantahan, dan sabar terhadap konsekuensi perjuangan. Juga, berhati-hati dari sikap sombong, riya’ dan perilaku aniaya.
Resep kemenangan tersebut bukan sekadar teori. Resep tersebut telah terbukti efektif. Sahabat-sahabat Nabi, orang-orang pertama yang mengamalkan Al-Qur’an membuktikannya. Mereka berhasil memancangkan panji Islam, dengan pedang dan dakwah, di tiga benua tua planet Bumi ini hanya dalam kurun waktu kurang dari tiga puluh tahun. Semua itu, dengan segala keterbatasan senjata dan fasilitas yang mereka miliki. Jauh berbeda keadaannya dengan masyarakat dan tentara dari imperium-imperium yang mereka tundukkan. (Tafsir Ibni Katsir, IV/72)Ayat-ayat di atas juga mengisyaratkan penyebab kekalahan. Kekalahan terjadi karena rasa gentar dan lenyapnya kekuatan. Penyebab timbulnya rasa gentar dan lenyapnya kekuatan tidak datang dari luar. Dia penyakit yang justru datang dari dalam. Al-Qur’an mendefenisikan penyakit tersebut sebagai: berbantah-bantahan. Keterpurukan umat Islam dewasa ini, dalam pelbagai bidang kehidupan dan agama, juga berawal dari penyakit tersebut. Sulit untuk mengatakan bahwa umat Islam kini bersatu. Fakta di lapangan menunjukkan, umat Islam lebih banyak ”ribut” di kalangan mereka sendiri. Persoalannya bukan pada terjadinya perbedaan pendapat. Perbedaan pendapat di kalangan umat dalam masalah ijtihadiyah adalah perkara lumrah. Di zaman Nabi, zaman keemasan dan periode normatif Islam, perbedaan pendapat telah terjadi. Tapi umat tetap bersatu. Sebab, perbedaan pendapat waktu itu tidak dijadikan sumber perpecahan.Lantaran itu, untuk mempersatukan umat, yang diperlukan bukanlah bagaimana menghapus perbedaan pendapat. Karena itu mustahil terjadi. Tapi, bagaimana memenej perbedaan tersebut ke arah positif dan mashlahat.Para ulama memberikan pedoman bagaimana menyikapi perberbedaan pendapat dalam masalah ijtihadiyah (Ma’alim Ushulil Fiqh, h. 492-493). Berikut ini rinciannya:1.Tidak Menganggap Sesat Pihak Lain Yang Berbeda PendapatDalam masalah ijtihadiyah, masing-masing pihak sebenarnya berangkat dari niat luhur yang sama: ketaatan pada Allah. Hanya saja, tabiat masalah ijtihadiyah memang ”memaksa” masing-masing pihak untuk tidak sampai pada satu kesimpulan yang sama. Karena itu, setelah pengerahan upaya yang maksimal untuk mencapai kebenaran, tidak ada yang dapat dipersalahkan atau dianggap sesat. Termasuk kategori menganggap sesat pihak lain adalah membid’ahkan, menganggap fasiq, atau mengkafirkan pihak lain yang berbeda pendapat. Nabi shallallahu ’alaihi wasallam pernah mencontohkan sikap ini. Ibnu Umar menceritakan bahwa sehabis perang Ahzab, Rasulullah memerintahkan sahabat-sahabat untuk menyerang Yahudi Bani Quraizhah yang melanggar perjanjian damai. Sebelum berangkat, Nabi berpesan, ”Tidak ada yang boleh shalat Ashar kecuali di tempat Bani Quraizhah.” Dalam perjalanan, waktu shalat Ashar masuk. Sahabat-sahabat berbeda pendapat, antara shalat di jalan atau shalat di tempat tujuan. Akhirnya, masing-masing kelompok shalat dengan ijtihadnya sendiri. Sekelompok melakukan shalat Ashar di jalan, sementara yang lain melakukan shalat di tempat Bani Quraizhah.Ketika perang usai, peristiwa tersebut diceritakan kepada Nabi. Bagaimana sikap Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam? Beliau tidak mencela seorang pun dari sahabat. (HR. Bukhari-Muslim)Pendapat kedua kelompok sahabat itu tentu ada yang benar dan ada yang salah. Namun, Rasulullah sama sekali tidak mencela mereka.2.Melakukan Dialog Yang Sehat dan Saling Pengertian
Idealnya, perbedaan pendapat tidak perlu terjadi. Tapi, dalam masalah-masalah ijtihadiyah, perbedaan pendapat kerap tidak bisa dihindari. Baik karena dalil yang memang berpeluang untuk ditafsirkan berbeda, atau karena tingkat pemahaman manusia yang memang tidak sama.Namun, bukan berarti perbedaan pendapat kemudian dibiarkan. Usaha untuk memperkecil ruang perbedaan di antara umat tetap harus dilakukan. Caranya, dialog yang sehat dengan saling menghargai antara pihak-pihak yang berbeda.Syekhul Islam Ibnu Taimiyah menulis, ”Oleh karena itu, ulama yang membahas Amar Ma’ruf Nahi Mungkar menegaskan bahwa perkara-perkara ijtihadiyah tidak boleh diingkari dengan tangan (kekerasan), dan tidak seorang pun yang boleh memaksa orang lain untuk mengikuti pendapatnya. Maksimal yang bisa dia lakukan adalah mengemukakan dalilnya secara ilmiah.” (Majmu’ Fatawa, XXX/80)3.Tidak Memaksakan PendapatIjtihad adalah upaya manusiawi. Hasilnya pun bersifat nisbi atau relatif. Sifat ma’shum (suci dari dosa dan kesalahan) hanya diberikan Allah kepada para nabi dan rasul. Karena itu, seorang mujtahid tidak mungkin memaksakan pendapatnya kepada orang lain. ”Ma’shum tidak terjadi selain pada para nabi ’alaihimus salam,” tegas Ibnu Taimiyah, ”semua orang selain nabi dapat diterima atau ditolak pendapatnya. Tidak ada seorang pun yang wajib ditaati dalam setiap perkataannya kecuali para nabi dan rasul, tidak pula wajib bagi manusia untuk mengikutinya.” (Majmu’ Fatawa, XXXV/120)4.Tidak Fanatik ButaPendapat seseorang boleh jadi telah jelas keliru. Karena bertentangan dengan dalil-dalil syariat. Tapi, pengikut-pengikut orang itu bersikukuh bahwa pendapat itu benar. Sikap ini disebut fanatik buta atau ta’asshub. Ulama-ulama mujtahid dahulu mewanti-wanti pengikutnya agar tidak terjebak kepada sikap fanatik ini. Mereka yakinkan murid-murid mereka bahwa mereka tetaplah manusia biasa. Bisa benar dan bisa pula salah. Imam Malik berkata, ”Aku hanyalah manusia biasa yang bisa benar dan bisa salah. Periksalah pendapat-pendapatku. Bila sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah, ambil. Bila tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah, tinggalkan.” (Al Wajiiz, h. 162)Para ulama itu mengingatkan, ikutan mereka dalam berpendapat adalah dalil, Al-Qur’an dan Sunnah. Sehingga mereka selalu siap memperbaiki pendapat mereka bila ternyata salah. Imam Syafi’i, ”Setiap perkara yang di dalamnya ada hadits shahih dari Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam, menurut ahli hadits, yang bertentangan dengan pendapatku, aku revisi, baik semasa hidupku atau setelah matiku.” (Al Wajiiz, h. 162)Al-Qur’an telah menegaskan pula hal ini. Firman Allah, ”Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya).” (QS. Al A’raf: 3)5.Masing-masing Pihak Berhak Mengamalkan Pendapat Sesuai Dalil Yang DiketahuinyaSebagai konsekuensi dari pengakuan terhadap relativitas kebenaran dalam masalah-masalah ijtihadiyah, masing-masing pihak tidak boleh dihalangi untuk beramal sesuai dengan hasil ijtihadnya. Tentu dengan catatan bahwa pihak-pihak yang berbeda telah berusaha sebatas kemampuannya untuk menemukan pendapat yang lebih dekat kepada Al-Qur’an dan Sunnah.

Peristiwa perang Bani Quraizhah di atas mendalilkah hal ini. Sahabat-sahabat akhirnya melaksanakan shalat sesuai dengan pendapatnya sendiri tanpa ada tekanan dari pihak manapun. Peristiwa tersebut kemudian mendapat legitimasi dari Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam. 6.Menghindari Pendapat-Pendapat Syadz atau Jelas Kekeliruan ArgumentasinyaHarus segera ditambahkan bahwa tidak semua perkara ijtihadiyah berarti nisbi, sehingga setiap mujtahid bebas untuk memilih pendapat-pendapat yang ada. Kenyataannya, beberapa perkara ijtihadiyah telah final. Artinya, pendapat yang benar dan salah dalam persoalan tersebut telah jelas. Sehingga ruang untuk berbeda pendapat tidak ada lagi. Perkara ijtihadiyah yang telah final ini umumnya berupa ijtihad ulama yang keliru, semata karena ulama tersebut belum tahu dalil. Adapun setelah umumnya masalah ijtihadiyah telah dikodifikasikan serta diketahui dalil-dalilnya, keadaannya menjadi lain. Masalah tersebut dianggap ijtihadiyah terbatas hanya pada masanya.Berkaitan dengan hal tersebut, Ibnu Qayim al Jauziyah mencatat, ”Persoalan-persoalan yang diperselisihkan ulama salaf dan khalaf, tapi telah kita pastikan kebenaran salah satu pendapat, banyak jumlahnya. Seperti, habisnya masa iddah wanita hamil dengan persalinan, bersetubuh dengan suami kedua sebagai syarat untuk halalnya dia bagi suami pertama setelah ditalak, mandi junub wajib karena bersetubuh walaupun tidak keluar mani, riba fadhl hukumnya haram . . . .” (I’lamul Muwaqqi’in, III/288)Pendapat-pendapat yang jelas keliru tersebut dikenal sebagai pendapat syadz atau disebut sebagai zallah (ketergelinciran) ulama. Ulama tetaplah manusia. Kekeliruan yang tidak disengaja tetaplah hal yang wajar terjadi. Di sinilah umat dituntut untuk tetap bijak dalam bersikap terhadap ulama mereka. Wallahu ta’ala a’lam.(Al Bashirah Edisi 06 Tahun II Kolom Tafsir, oleh Ilham Jaya Abdurrauf, Lc)

Tuesday, November 18, 2008

Kegiatan Futsal Guru, Karyawan SD Islam Al Azhar 31 yogyakarta

Kegiatan Futsal Guru, Karyawan SD Islam Al Azhar 31 yogyakarta04 Maret 2008
Salam olahraga...jaya... semangat salam olahraga yang sering kita dengar dari pak menegpora itu rupanya telah terpatri di hati civitas akademika SD Islam Al azhar 31 Yogyakarta. terbukti berbgai kegiatan yang bernuansa olahraga sering dilakukan mulai dari jalan sehat, sampai dengan futsal. kegiatan futsal ini dilakukan oleh para guru dan karyawan, bahkan tidak jarang jami'ah juga ikut terlibat dalam kegiatan ini. kegiatan ini dilakukan salah satu tujuannya adalah untuk meningkatkan produktifias kerja dari guru dan karyawan, demikian disampaikan oleh ibu Suhartini, S.Pd. dalam sebuah kesempatan. Keikutsertaan jamiah dalam kegiatan itu merupakan wujud dukungan jamiah terhadap mutu dan kualitas sekolah dasar islam ini. Kegiatan ini tidak menganggu jadwal mengajar guru maupun kerja karyawan karena memang dilakukan pada hari sabtu, dimana proses belajar mengajar di sekolah libur. Gunardi, S.pd. Kor mengungkapkan bahwa untuk menambah semangat kegiatan berolahraga di lingkungan SD Islam Al Azhar ini, akan diadakan pertandingan persahabatan dengan SDI Al Azhar Solo. semoga aja semangat berolahraganya terus berkobar...jaya Olahraga, Jaya Al Azhar...

Ekskul Pencak Silat SDI Al Azhar 31 Yogyakarta

Ekskul Pencak SilatSD Islam al Azhar 31 yogyakarta11 Maret 2008
Oleh : Tonang Juniarta, S.Pd.kor
Ekskul Pencak silat adalah salah satu dari sekian banyak ekskul yang diselenggarakan di sekolah islam ini. Sudah sejak pertengahan tahun 2006 yang lalu, di SD Islam al Azhar 31 yogyakarta telah dilaksanakan kegiatan ekskul pencak silat. ekskul ini bertujuan untuk membina siswa secara utuh, yaitu mempunyai kekuatan jasmani dan rohani. pencak silat yang diselenggarakan di SD Islam Al Azhar tidak didasarkan pada satu aliran tertentu, tetapi dilaksanakan versi IPSI (Ikatan pencak Silat Indonesia), sehingga seragam latihan menggunakan seragam dengan warna hitam-hitam.
Alhamdulillah kegiatan latihan ini diminati oleh banyak siswa-siswi, hal ini tidak terlepas dari kegiatan latihan yang menyenangkan. "kegiatan latihan memang kita desain sedemikian, sehingga anak melakukan latihan dengan perasaan gembira dan ikhlas. demikian informasi ini semoga bisa menambah wawasan bagi para pembaca yang budiman.mohon doa nya semoga latihan bisa berjalan lancar,sehingga pencak silat bisa berjaya di negerinya sendiri...amin
ASMOR UNY GELAR KEJUARAAN FUTSAL SD SE-DIY
02/08/2008 08:35:31 SLEMAN (KR) - Asrama Mahasiswa Olahraga (Asmor) FIK Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) akan menggelar Kejuaraan Futsal Antar SD/MI se-DIY 2008 di GOR UNY Sleman, Minggu (3/8). Kegiatan bertajuk Asmor Futsal Cup 2 ini memperebutkan Trofi Rektor UNY dan uang pembinaan.Kejuaraan bertema Get Enjoy, Fun, Healthy and Smart Children ini menggunakan sistem gugur dan diikuti 32 tim SD/MI. "Kegiatan ini selain sebagai bentuk pemassalan olahraga, juga memberi wahana kepada anak untuk berprestasi yang membanggakan," kata Ketua Panitia Supriadi didampingi Tonang Juniarto SPd (Sekretaris) dan Wisnu Agung p (Bendahara), saat silaturahmi ke KR, Kamis (31/7) lalu.Tonang menambahkan, ajang ini dilandasi pemikiran bahwa selama ini lomba-lomba olahraga untuk anak sangat kurang. "Kejuaraan ini bertujuan menumbuhkan kegemaran berolahraga pada anak usia dini. Dengan berolahraga diharapkan anak menjadi gembira dan bugar, sehingga akan mendukung prestasi belajar di sekolah," tuturnya.Selain menyediakan trofi dan uang pembinaan bagi Juara 1 hingga 4, panitia juga membagikan trofi untuk best player, top scorer, tim favorit dan top fair play. "Kami sengaja menyediakan banyak trofi sebagai bentuk apresiasi kepada anak-anak yang telah berjuang keras," ungkap Wisnu. (*-4)-g

Monday, November 17, 2008

Aplikasi Teori Hebbs Dalam Penjas

KONTRIBUSI TEORI D. O. HEBBS DALAM PENJAS
Oleh: Paiman, Tonang J uniarta, Danang Kusuma Wardana
A. PENDAHULUAN
Pendidikan harus mencakup ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik. Tetapi yang terjadi saat ini, aspek kognitif lebih menjadi fokus utama pembelajaran. Indikasi ini bisa kita lihat diantaranya dengan adanya sistem Ujian Nasional (UNAS) sebagai standar kelulusan. Kelulusan hanya ditentukan dengan beberapa mata pelajaran saja, dalam hal ini pendidikan jasmani tidak termasuk di dalamnya. UNAS akhir-akhir ini menjadi ”momok” yang menakutkan bagi siswa kelas XII khususnya, dan tidak sedikit kelas-kelas sebelumnya. Hal ini dikarenakan nilai minimal yang harus dicapai untuk mencapai kelulusan. Kondisi yang demikian memaksa anak untuk mencurahkan kemampuan maksimal untuk UNAS, bahkan jauh-jauh hari waktunya dihabiskan untuk persiapan UNAS. Di pihak lain orang tua juga menyadari bahwa UNAS seolah menjadi penentu nasib dan masa depan anak-anaknya. Orang tua rela mengeluarkan banyak uang untuk memasukkan anaknya ke lembaga-lembaga belajar. Hal ini berakibat kurangnya alokasi waktu untuk beraktivitas jasmani.
Jika dianalogikan pengetahuan adalah makanan untuk otak, aktivitas jasmani adalah makanan untuk jasmani atau fisik yang sama penting. Hal tersebut mempunyai implikasi bahwa pembinaan yang dilakukan juga harus seimbang dan tidak boleh berat sebelah. Pembinaan yang tidak tepat dan tidak proporsional, dalam hal ini ketidakseimbangan antara aktifitas otak dan aktivitas jasmani menyebabkan beberapa akibat yang tentu tidak kita harapkan diantaranya:
a. Ketidakstabilan emosional siswa yang dapat menimbulkan banyak permasalahan individu maupun kelompok, seperti halnya tawuran yang disebabkan ketidakstabilan emosi.
b. Banyaknya peristiwa kenakalan remaja, tawuran pelajar dan lain sebagainya bisa jadi sebagai pelampiasan anak-anak yang sebenarnya mempunyai kelebihan energi yang tidak tersalurkan lewat aktivitas jasmani sehingga diwujudkan dalam bentuk-bentuk seperti itu.
c. Aktivitas jasmani sangat lekat dengan jiwa sportifitas sebagai jiwa olahraga. Melalui aktivitas jasmani dapat mambentuk jiwa sportifitas pada anak. Jiwa sportifitas dan fairplay yang terbentuk melalui aktivitas jasmani diharapkan bisa terbawa dan diaplikasikan dalam kehidupan di masyarakat.
Salah satu ciri pendidikan adalah bahwa pendidikan harus humanis, artinya harus memperhatikan sisi-sisi manusia yang melekat pada setiap peserta didik. Setiap peserta didik melekat padanya potensi kognitif, afektif, dan psikomotorik. Menyadari hal tersebut sudah menjadi keharusan bahwa semua potensi harus dilakukan pembinaan sehingga akan terbentuk individu yang utuh, yaitu sehat jasmani maupun rohani. Hal ini sesuai dengan tujuan pendidikan yang tercantum dalam undang-undang SISDIKNAS bahwa tujuan pendidikan adalah untuk membentuk manusia Indonesia seutuhnya dan meningkatkan kualitas hidup peserta didik. Dalam pelaksanaan pendidikan yang efektif diperlukan banyak kajian mengenai teori pembelajaran sehingga tercipta metode yang tepat untuk mencapai ekfektivitas pendidikan. Dalam hal ini akan dibahas khususnya bagaimana teori pembelajaran yang diungkapkan oleh Donald Olding Hebbs diterapkan dalam pembelajaran penjas. Dari uraian tersebut muncul beberapa pertanyaan yang akan menjadi kajian dari makalah ini. Bagaimana prinsip-prinsip teori pembelajaran yang diungkapkan oleh Hebbs? Bagaimana penerapan prinsip-prinsip teori Hebbs dalam penjas?

B. KAJIAN TEORI
Teori Belahan Otak

Sunday, November 16, 2008

Peran Psikologi Olahraga dan Psikologi Kepelatihan dalam Olahraga

Peran Psikologi Olahraga dan Psikologi Kepelatihan dalam Olahraga
Oleh: Tonang Juniarta
A. PENDAHULUAN
Olahraga merupakan kebutuhan manusia. Melalui olahraga diharapkan didapatkan tubuh yang sehat dan bugar sehingga mampu meningkatkan produktitas kerja. Dalam keadaan sakit, mudah lelah dan tidak bugar bisa dipastikan bekerja tidak bisa maksimal. Olahraga adalah aktifitas yang berkaitan dengan gerak tubuh. Menurut undang-undang no. 3 tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional BAB VI pasal 17 disebutkan bahwa olahraga dikelompokkan menjadi 3 yaitu: 1) olahraga pendidikan adalah pendidikan jasmani dan olahraga yang dilaksanakan sebagai bagian proses pendidikan yang teratur dan berkelanjutan untuk memperoleh pengetahuan, kepribadian, keterampilan, kesehatan, dan kebugaran jasmani , 2) Olahraga rekreasi adalah olahraga yang dilakukan oleh masyarakat dengan kegemaran dan kemampuan yang tumbuh dan berkembang sesuai dengan kondisi dan nilai budaya masyarakat setempat untuk kesehatan, kebugaran dan kesenangan, dan 3) Olahraga prestasi adalah olahraga yang membina dan mengembangkan olahragawan secara terencana, berjenjang dan berkelanjutan melalui kompetisi untuk mencapai prestasi dengan dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi keolahragaan. Berdasarkan hasil Semiloka Nasional Ilmu Keolahragaan (2000) dihasilkan bahwa selain ketiga kelompok tersebut di atas juga ada kelompok olahraga rehabilitasi yaitu jenis kegiatan olahraga, atau latihan jasmani yang menekankan tujuan bersifat terapi atau aspek psikis dan perilaku. Kelompok olahraga yang lain adalah olahraga kesehatan yaitu jenis kegiatan olahraga yang lebih menitikberatkan pada upaya mencapai tujuan dan fitness yang tercakup dalam konsep well being melalui kegiatan berolahraga. Dalam mengembangkan semua kelompok olahraga tersebut perlu didukung berbagai disiplin ilmu yang lain, seperti: ilmu faal, gisi, perkembangan motorik, biomekanika, psikologi da lin sebagainya.
Dalam aktifitas olahraga prestasi khususnya faktor psikis menjadi hal penting yang sering ”lupa/dilupakan” selama proses latihan maupun dalam pertandingan. Faktor psikologis atau sering disebut mental atlet diibaratkan sebagai obor yang memacu semangat dan menghasilkan kinerja maksimal atlet. Diakui bahwa psikologi semakin berperan dalam dunia olahraga maupun dunia kepelatihan. Secara lebih khusus hal ini dipelajari melalui psikologi olahraga maupun psikologi kepelatihan. Psikologi olahraga akan membahas mengenai mental dalam aktivitas olahraga.
Dalam suatu kondisi fisik yang sudah lelah sekalipun, apabila secara mental tangguh maka fisik masih bisa dipaksa untuk bekerja, namun tidak demikian sebaliknya. Apabila mental sudah down maka fisik prima pun seolah kurang berarti dalam situasi pertandingan. Mengingat pentingnya pengaruh dan peranan psikologi olahraga dan kepelatihan dalam olahraga, maka akan diuraikan bagaimana peran psikologi olahraga dan psikologi kepelatihan. Untuk memberikan pemahaman secara runtut dan holistik, dalam makalah ini akan dibahas pengertian psikologi, peran psikologi olahraga dan psikologi kepelatiha dalam aktifitas olahraga.
B. KAJIAN TEORI
Pengertian psikologi secara umum
Psikologi berasal dari bahasa yunani psyche yang artinya jiwa, dan logos yang berarti ilmu. Secara harfiah psikologi dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari jiwa. Sedangkan secara bahasa, psikologi dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari perilaku manusia karena pada dasarnya jiwa adalah sesuatu yang abstrak sehingga tidak bisa diamati. Obyek kajian psikologi adalah manusia, jadi yang dipelajari adalah jiwa manusia. Pada hakekatnya jiwa tidak bisa dipelajari karena jiwa merupakan unsur yang abstrak, unobservable akan tetapi dapat amati melalui perilaku seseorang. Psikologi mempelajari tingkah laku masnusia yang bisa diamati (observable) dan yang dapat di ukur (measurable). Jiwa tercermin pada perilaku seseorang, perilaku yang merupakan ekspresi kejiwaan seseorang. Jadi obyek kajian psikologi dapat dipelajari melalui perilaku manusia Contoh: seorang psikolog dapat mengetahui bahwa seseoarng melakukan penipuan melalui gejala-gejala perubahan yang terjadi pada perilaku maupun aspek-aspek fisiologisnya (seperti keluarnya keringat yang berlebihan, gemetar, keringat dingi, ataupun perubahan raut muka dsb)
Sekilas mengenai sejarah psikologi
Psikologi adalah ilmu yang tergolong muda (sekitar akhir 1800an) tetapi, manusia telah memperhatikan masalah psikologi. Banyak filosof Yunani yang telah memberikan perhatian pada bidang ini, mereka banyak memberikan sumbangan dalam bidang psikologi. Pada waktu itu psikologi masih berbentuk wacana belum menjadi ilmu pengetahuan. Walaupun sejak dulu telah ada pemikiran tentang ilmu yang mempelajari manusia dalam kurun waktu bersamaan dengan adanya pemikiran tentang ilmu yang mempelajari alam, akan tetapi karena kekompleksan dan kedinamisan manusia untuk dipahami, maka psikologi baru tercipta sebagai ilmu sejak akhir 1800-an yaitu dengan berdirinya laboratorium Wundt oleh wilhelm wundt di University of Leipszig sebagai laboratorium psikologi pertama di dunia. Dengan berdirinya laboratorium ini pula, lengkaplah syarat psikologi untuk menjadi ilmu pengetahuan, sehingga tahun berdirinya laboratorium Wundt diakui pula sebagai tanggal berdirinya psikologi sebagai ilmu pengetahuan. (Syarat Ilmu Pengetahuan: Memiliki obyek (tingkah laku), memiliki metode penelitian (sejak laboratorium Wundt didirikan psikologi telah membuktikan memiliki metode ilmiah), sistematis, dan bersifat universal. Psikologi memiliki tiga fungsi sebagai ilmu yaitu: a) Menjelaskan, Yaitu mampu menjelaskan apa, bagaimana, dan mengapa tingkah laku itu terjadi, b) Memprediksikan Yaitu mampu meramalkan atau memprediksikan apa, bagaimana, dan mengapa tingkah laku itu terjadi, dan c) Pengendalian yaitu mengendalikan tingkah laku sesuai dengan yang diharapkan.
Psikologi Olahraga
Psikologi olahraga merupakan hasil perkembangan dari psikologi umum. Menurut Khonstman (1951) yang dikutip Herman Subarjah (2000: 1) menyebutkan bahwa medan kajian psikologi adalah tingkah laku manusia dalam keadaan tertentu, misalnya manusia dalam keadaan panik dipelajari dalam psikologi massa, atau manusia dalam proses produksi misalnya dipelajari dalam psikologi industri. Sejalan dengan perkembangan waktu dan kebutuhan terhadap psikologi dalamolahraga, maka dikembangkan dan diterapkan psikologi olahraga.
Batasan dan pengertian psikologi olahraga, salah satunya dikemukakan oleh John D. Lawther, seorang guru besar pendidikan jasmani dari Pensylvania State University yaitu ” Sport psychologi is the study of human behavior in sport situation. It focusses on both learning and performance, and conciders both participans and spectator”. Secara bebas bida diartikan bahwa psikologi olahraga adalah studi tentang tingkah laku manusia dalam situasi olahraga, focus kajiannya adalah pada belajar dan performa, dan memperhitungkan baik pelaku maupun penonton. Weinberg and gould (1999) mengartikan psikologi olahraga sebagai studi khusus mengenai manusia dan perilakunya dalam aktivitas olahraga dan latihan (ICSSPE, sport and exercise psikologi, hal. 161 bar. 3). Jadi, psikologi olahraga dapat diartikan sebagai psikologi yang diterapkan dalam bidang olahraga, meliputi faktor-faktor yang mempengaruhi secara langsung terhadap atlet dan faktor-faktor di luar atlet yang dapat mempengaruhi penampilan (performance) atlet tersebut.
Pengertian Psikologi Kepelatihan
Psikologi kepelatihan adalah ilmu yang mempelajari tingkahlaku dan pengalaman individu yang terjadi dalam proses interaksi antara pelatih dan atlet dan gejala-gejala yang timbul sebagai akibat perlakuan yang diberikan pelatih. Manfaat mempelajari psikologi kepelatihan (Sudibyo Setyabroto, 1993: 10)
a. Para pelatih lebih memahami gejala-gejala psikologik yang terjadi pada diri atlet, baik gejala yang dapat mempengaruhi meningkat/merosotnya prestasi atlet
b. Dapat memprediksi dampak yang menguntungkan./merugikan atlet
c. Dapat melakukan tindakan yang sesuai
Bagaimana perkembangannya saat ini?
Kian tahun psikologi olahrga kian mengalami peningkatan kajian dan mengalami perkembangan yang berarti. Jadi, di satu pihak seorang psikolog yang memiliki ijin praktik belum tentu memiliki cukup pengetahuan ilmu keolahragaan, di lain pihak, pakar keolahragaan tidak dibekali pendidikan khusus psikoterapi dan konseling. Akibatnya, sampai saat ini masih terjadi kerancuan akan siapa sesungguhnya yang berhak memberikan pelayanan sosial dalam bidang psikologi olahraga. Idealnya adalah seorang konsultan atau psikoterapis memperoleh pelatihan khusus dalam bidang keolahragaan; sehingga sebagai seorang praktisi ia tetap berada di atas landasan profesinya dengan mengikuti panduan etika yang berlaku, dan di samping itu pengetahuan keolahragaannya juga cukup mendukung latar belakang pendidikan formalnya.
Dalam upaya mengatasi masalah ini IPO sebagai asosiasi psikologi olahraga nasional tengah berupaya menyusun ketentuan tugas dan tanggung jawab anggotanya. Di samping itu, IPO juga tengah berupaya menyusun kurikulum tambahan untuk program sertifikasi bagi para psikolog praktisi yang ingin memberikan pelayanan sosial dalam bidang psikologi olahraga. Kurikulum tersebut merupakan bentuk spesialisasi psikologi olahraga yang meliputi: 1) Prinsip psikologi olahraga, 2) Peningkatan performance dalam olahraga, 3) Psikologi olahraga terapan, 4) Psikologi senam. Masalah lain yang juga kerapkali timbul dalam penanganan aspek psikologi olahraga adalah dalam menentukan klien utama. Sebagai contoh misalnya pengguna jasa psikolog dapat seorang atlet, pelatih, atau pengurus. Kepada siapa psikolog harus memberikan pelayanan utama jika terjadi kesenjangan misalnya antara atlet dan pengurus, padahal psikolog dipekerjakan oleh pengurus untuk menangani atlet, dan atlet pada saat tersebut adalah pengguna jasa psikologi. Di satu pihak psikolog perlu menjaga kerahasiaan atlet, di lain pihak pengurus mungkin mendesak psikolog untuk menjabarkan kepribadian atlet secara terbuka demi kepentingan organisasi. Sachs (1993) menawarkan berbagai kemungkinan seperti misalnya menerapkan perjanjian tertulis untuk memberikan keterangan; namun demikian, jika atlet mengetahui bahwa pribadinya akan dijadikan bahan pertimbangan organisasi, ia mungkin cenderung akan berperilaku defensif, sehingga upaya untuk memperoleh informasi tentang dirinya akan mengalami kegagalan. Karenanya, seorang psikolog harus dapat bertindak secara bijaksana dalam menangani masalah ini, demikian pula, hendaknya seorang pelatih yang kerapkali bertindak selaku konsultan bagi atletnya kerap kali harus mampu melakukan pertimbangan untuk menghadapi masalah yang serupa
C. PEMBAHASAN
1. Bagaimana konsep dari psikologi olahraga, apa bedanya dengan psikologi latihan?
Weinberg dan Gould (1995) memberikan pandangan yang hampir serupa atas psikologi olahraga dan psikologi latihan (exercise psychology), karena banyak kesamaan dalam pendekatannya, beberapa peneliti lain (Anshel, 1997; Seraganian, 1993; Willis & Campbell, 1992) secara lebih tegas membedakan psikologi olahraga dengan psikologi latihan. Weinberg dan Gould, (1995) mengemukakan bahwa psikologi olahraga dan psikologi latihan memiliki dua tujuan dasar, yaitu: a) Mempelajari bagaimana faktor psikologi mempengaruhi performance fisik individu, b) Memahami bagaimana partisipasi dalam olahraga dan latihan mempengaruhi perkembangan individu termasuk kesehatan dan kesejahteraan hidupnya Di samping itu, mereka mengemukakan bahwa psikologi olahraga secara spesifik diarahkan untuk:
1. Membantu para professional dalam membantu atlet bintang mencapai prestasi puncak
2. Membantu anak-anak, penderita cacat dan orang tua untuk bisa hidup lebih bugar
3. Meneliti faktor psikologis dalam kegiatan latihan, dan
4. Memanfaatkan kegiatan latihan sebagai alat terapi, misalnya untuk terapi depressi (Weinberg & Gould, 1995).
Sekalipun belum begitu jelas letak perbedaannya, Weinberg dan Gould (1995) telah berupaya untuk menjelaskan bahwa psikologi olahraga tidak sama dengan psikologi latihan. Namun dalam prakteknya biasanya memang terjadi saling mengisi, dan kaitan keduanya demikian eratnya sehingga menjadi sulit untuk dipisahkan. Tetapi Seraganian (1993) serta Willis dan Campbell (1992) secara lebih tegas mengemukakan bahwa secara tradisional penelitian dan praktik psikologi olahraga diarahkan pada hubungan psikofisiologis misalnya responsi somatik mempengaruhi kognisi, emosi dan performance. Sedangkan psikologi latihan diarahkan pada aspek kognitif, situasional dan psikofisiologis yang mempengaruhi perilaku pelakunya, bukan mengkaji performance olahraga seorang atlet. Adapun topik dalam psikologi latihan misalnya mencakup dampak aktivitas fisik terhadap emosi pelaku serta kecenderungan (disposisi) psikologi, alasan untuk ikut serta atau menghentikan kegiatan latihan olahraga, perubahan pribadi sebagai dampak perbaikan kondisi tubuh atas hasil latihan olahraga dan lain sebagainya (Anshel, 1997).
Jelaslah kini bahwa psikologi olahraga lebih diarahkan para kemampuan prestatif pelakunya yang bersifat kompetitif; artinya, pelaku olahraga, khususnya atlet, mengarahkan kegiatannya olahraganya untuk mencapai prestasi tertentu dalam berkompetisi, misalnya untuk menang. Sedangkan psikologi latihan lebih terarah pada upaya membahas masalah-masalah dampak aktivitas latihan olahraga terhadap kehidupan pribadi pelakunya. Dengan kata lain, psikologi olahraga lebih terarah pada aspek sosial dengan keberadaan lawan tanding, sedangkan psikologi latihan lebih terarah pada aspek individual dalam upaya memperbaiki kesejahteraan psikofisik pelakunya.
Sekalipun demikian, kedua bidang ini demikian sulit untuk dipisahkan, karena individu berada di dalam konteks sosial dan sosial terbentuk karena adanya individu-individu. Di samping itu kedua bidang ini melibatkan aspek psikofisik dengan aktivitas aktivitas yang serupa, dan mungkin hanya berbeda intensitasnya saja karena adanya faktor kompetisi dalam olahraga
Mengapa perlu psikologi olahraga?
Pembinaan olahraga prestasi merupakan proses yang panjang dan rumit. Banyak ilmu yang mendukung untuk pencapaian prestasi optimal seoarang atlet. Salah satunya adalah psikologi, karena manusia adalah makhluk dwi tunggal yaitu terdiri dari jasmani dan rohani yang menjadi satu. Dengan demikian kedua aspek tersebut harus digali, dilatih dan diarahkan untuk mencapai derajat fungsi optimalnya masing-masing. Fenomena yang sering kita dapati adalah, timpangnya pemberian porsi latihan antara fisik dan psikis. Seringkali fisik dijadikan dasar utama tanpa memperhitungkan aspek psikisnya. Hal ini jelas keliru dan perlu adanya upaya perbaikan konsep dalam sistem pelatihan cabang olahraga. Aspek psikis atlet ibarat obor yang siap membakar semangat atlet untuk mengeluarkan segala kemampuannya yang telah didapatkan dari proses latihan yang terakumulasi peningkatannya. Kemampuan teknik dan fisik seseorang tidak akan begitu berarti ketika kejiwaannya (mental) tidak mampu mengerakkan untuk tampil optimal. Seringkali kelelahan fisik bisa diatasi dengan arousal (kegairahan). Artinya walaupun secara fisik atlet sudah mengalami kelelahan yang sangat, namun muncul apa yang disebut scond wind yang mampu menggerakkan fisik untuk terus bekerja. pakah sekarang bisa kita katakan bahwa aspek fisik tidak perlu dilatihkan??
Bagaimana perkembangannya saat ini?
Kian tahun psikologi olahraga kian mengalami peningkatan kajian dan mengalami perkembangan yang berarti. Jadi, di satu pihak seorang psikolog yang memiliki ijin praktik belum tentu memiliki cukup pengetahuan ilmu keolahragaan, di lain pihak, pakar keolahragaan tidak dibekali pendidikan khusus psikoterapi dan konseling. Akibatnya, sampai saat ini masih terjadi kerancuan akan siapa sesungguhnya yang berhak memberikan pelayanan sosial dalam bidang psikologi olahraga. Idealnya adalah seorang konsultan atau psikoterapis memperoleh pelatihan khusus dalam bidang keolahragaan; sehingga sebagai seorang praktisi ia tetap berada di atas landasan professinya dengan mengikuti panduan etika yang berlaku, dan di samping itu pengetahuan keolahragaannya juga cukup mendukung latar belakang pendidikan formalnya.
Dalam upaya mengatasi masalah ini IPO sebagai asosiasi psikologi olahraga nasional tengah berupaya menyusun ketentuan tugas dan tanggung jawab anggotanya. Di samping itu, IPO juga tengah berupaya menyusun kurikulum tambahan untuk program sertifikasi bagi para psikolog praktisi yang ingin memberikan pelayanan sosial dalam bidang psikologi olahraga. Kurikulum tersebut merupakan bentuk spesialisasi psikologi olahraga yang meliputi: 1) Prinsip psikologi olahraga, 2) Peningkatan performance dalam olahraga, 3) Psikologi olahraga terapan, 4) Psikologi senam.
Masalah lain yang juga kerapkali timbul dalam penanganan aspek psikologi olahraga adalah dalam menentukan klien utama. Sebagai contoh misalnya pengguna jasa psikolog dapat seorang atlet, pelatih, atau pengurus. Kepada siapa psikolog harus memberikan pelayanan utama jika terjadi kesenjangan misalnya antara atlet dan pengurus, padahal psikolog dipekerjakan oleh pengurus untuk menangani atlet, dan atlet pada saat tersebut adalah pengguna jasa psikologi. Di satu pihak psikolog perlu menjaga kerahasiaan atlet, di lain pihak pengurus mungkin mendesak psikolog untuk menjabarkan kepribadian atlet secara terbuka demi kepentingan organisasi. Sachs (1993) menawarkan berbagai kemungkinan seperti misalnya menerapkan perjanjian tertulis untuk memberikan keterangan; namun demikian, jika atlet mengetahui bahwa pribadinya akan dijadikan bahan pertimbangan organisasi, ia mungkin cenderung akan berperilaku defensif, sehingga upaya untuk memperoleh informasi tentang dirinya akan mengalami kegagalan. Karenanya, seorang psikolog harus dapat bertindak secara bijaksana dalam menangani masalah ini, demikian pula, hendaknya seorang pelatih yang kerapkali bertindak selaku konsultan bagi atletnya kerap kali harus mampu melakukan pertimbangan untuk menghadapi masalah yang serupa.
D. PENUTUP
Kesimpulan
Psikologi diperlukan dalam olahraga guna menjelaskan/explanatif, memprediksi/prediktif, mengendalikan/krontrol perilaku dalam aktifitas olahraga.
Saran
Setiap kelompok olahraga perlu mempelajari dan menerapkan psikologi olahraga/kepelatihan untuk efektifitas dalam mencapai tujuan yang diinginkan dari melakukan olahraga.

KAJIAN PUSTAKA
Bimo Walgito (1997). Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta. Andi Offset
Depdiknas (2002). Ilmu Keolahragaan dan Rencana Pengembangannya. Jakarta
Herman Subarjah (2000). Psikologi Olahraga. Jakarta. Depdiknas
Singgih D Gunarso (2004). Psikologi Olahraga Prestasi. Jakarta. PT. BPK Gunung Mulia.
Sudibyo Setyobroto (1993) Psikologi Kepelatihan. Jakarta. CV. Jaya Sakti.
-------------------------(2001). Mental Training. Solo
-------------------------(2002) Psikologi Olahraga. Jakarta. PT. Aneng Kasong Anem.
UU RI No. 3 Tahun 2005 Tentang Sistem Keolahragaan Nasional. Kemenegpora
Weinberg R.S & Gould.D.(2003). Foundations of Sports &Exercise Psychology. United State. Human Kinetics.